Penngbc.com – Siapa sih yang hari ini nggak kenal TikTok, Instagram, atau YouTube? Dari anak SD sampai remaja tanggung, semua udah akrab banget sama dunia medsos. Tapi di balik serunya scroll, like, dan comment, ternyata ada alarm bahaya yang mulai berbunyi pelan-pelan—terutama soal pendidikan anak-anak zaman sekarang.

Menurut data Neurosensum Indonesia (2021), sekitar 87% anak-anak di tanah air udah ngepoin media sosial sebelum genap 13 tahun. Rata-rata bahkan udah mulai main medsos sejak umur 7 tahun! Nggak heran kalau BPS (2024) juga bilang kalau 67,65% peserta didik usia 5–24 tahun pakai internet buat akses media sosial, dan 90,76% dari mereka make internet cuma buat hiburan. Nah lho!

Padahal, meski media sosial punya banyak manfaat kayak info cepat dan hiburan seru, ada juga sisi gelap yang mengancam kualitas belajar anak-anak. Dari susah fokus, makin gampang stres, sampai kehilangan kemampuan mikir kritis. Yuk, kita kulik satu-satu.

Anak Zaman Now: Fokus Belajar atau Fokus Notif?

Medsos emang pinter banget bikin kita betah lama-lama mantengin layar. Video singkat, tren viral, dan FYP yang bikin penasaran, semuanya jadi jebakan manis. Tapi sayangnya, ini justru bikin anak-anak makin susah konsentrasi pas belajar. Studi yang dilansir Jawa Pos (2025) nunjukin bahwa anak-anak yang kebanyakan waktu di depan layar lebih rentan alami masalah emosional kayak kecemasan, susah fokus, dan gampang marah.

Data BPS (2023) juga bilang, 94,16% anak muda usia 16–30 tahun aktif di internet, dan 84,37% di antaranya sibuk di medsos. Banyak guru bilang siswa jadi gampang ke-distract sama bunyi notifikasi, bahkan pas lagi pelajaran. Gimana mau paham pelajaran kalau tiap lima menit ngecek HP?

Kebanjiran Info Tapi Gagal Mikir?

Medsos memang bikin kita dapet info cepat, tapi… ya cuma cepat. Anak-anak jadi kebiasaan terima informasi instan tanpa sempat mencerna atau menganalisis. Hasilnya? Kemampuan mikir kritis makin tumpul. Fenomena FOMO alias Fear of Missing Out juga nambah tekanan. Anak-anak jadi merasa harus terus online, takut ketinggalan tren. Ujung-ujungnya, mereka lelah mental dan makin sulit fokus sama pelajaran yang butuh logika dan pemikiran mendalam.

Sosial Media, Tapi Malah Kesepian?

Media sosial bisa bikin kita “terhubung”, tapi kadang malah bikin anak-anak merasa sendiri. Mulai dari cyberbullying sampai insecure karena mahjong banding-bandingin diri sama kehidupan “sempurna” orang lain di medsos. Penelitian dari Universitas Hasanuddin (2024) mengungkap, banyak anak membentuk citra diri ideal di medsos demi diakui teman sebaya. Tapi tekanan buat tampil “sempurna” justru bikin mereka nggak nyaman sama diri sendiri.

Ditambah lagi, media sosial sering bentrok sama nilai budaya lokal kita. Di satu sisi, budaya kita ngajarin hidup kompak dan saling bantu. Tapi di sisi lain, medsos dorong anak-anak buat tampil paling beda dan paling menonjol. Hasilnya? Anak-anak bingung sendiri mau jadi versi mereka yang mana: versi asli atau versi medsos.

So, Solusinya Apa Dong?

Nah, biar nggak terjebak di dunia maya, ada beberapa langkah nyata yang bisa diambil:

1. Literasi Digital Itu Penting Banget!

Anak-anak perlu diajarin cara cerdas pakai medsos. Ini bisa jadi bagian dari pelajaran di sekolah. Bukan cuma tahu cara posting, tapi juga gimana memilah info yang bener dan nggak gampang kena hoaks. Konsep John Dewey soal belajar dari pengalaman sangat cocok di sini: ajak anak belajar lewat diskusi, simulasi, atau proyek digital.

2. Bikin Aturan Main yang Jelas

Sekolah bisa bikin aturan soal pemakaian HP di jam belajar. Orang tua juga harus aktif ngawasin aktivitas digital anak. Kayak yang dijelasin Vygotsky, anak-anak butuh bimbingan dari orang dewasa untuk belajar secara maksimal—termasuk belajar digital.

3. Ajak Anak Sosialisasi di Dunia Nyata

Pendidikan nggak melulu soal nilai ujian. Ajak anak lebih aktif di kegiatan kelompok, ekstrakurikuler, atau proyek yang butuh kerja tim. Menurut Montessori, anak-anak belajar paling oke lewat eksplorasi dan interaksi. Sementara Paulo Freire percaya pendidikan seharusnya bikin anak jadi pemikir kritis, bukan robot pasif yang cuma nyerap info.