penngbc – Banjir masih menjadi momok di berbagai wilayah Indonesia, dengan frekuensi dan intensitas yang meningkat seiring perubahan iklim. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat lebih dari 1.200 kejadian banjir pada periode Januari-Oktober 2023, merusak infrastruktur dan mengganggu kehidupan 2,3 juta penduduk. Untuk mengurangi dampak ini, kolaborasi antara akademisi dan komunitas lokal muncul sebagai solusi kunci dalam membangun kesiapan berkelanjutan.

Akademisi Membawa Inovasi ke Tingkat Akar Rumput

Tim peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) mengembangkan program pelatihan berbasis komunitas di wilayah rawan banjir Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan. Dr. Ahmad Fauzi, ketua tim riset UGM, menjelaskan, “Kami melatih warga membuat peta risiko partisipatif, merancang sistem peringatan dini berbasis sensor sederhana, dan mengoptimalkan lahan dengan tanaman penyerap air seperti bambu dan vetiver.”

Hasilnya, di Desa Kemuning, Jawa Tengah, masyarakat berhasil mengurangi genangan air hingga 60% selama musim hujan 2023 melalui pembuatan biopori masal dan rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS). “Dulu kami hanya mengandalkan pemerintah. Sekolah lapangan ini membuka wawasan kami untuk bertindak mandiri,” ujar Sutrisno, ketua kelompok tani setempat.

Kemitraan yang Memberdayakan

Di wilayah Jakarta Utara, kolaborasi antara Institut Teknologi Bandung (ITB) dan warga Marunda menghasilkan sistem pemantauan banjir real-time berbasis Internet of Things (IoT). Mahasiswa teknik ITB merancang sensor ketinggian air yang terhubung dengan aplikasi ponsel, sementara pemuda setempat bertugas memasang alat dan menyebarkan informasi ke warga. “Teknologi ini tidak berguna tanpa keterlibatan langsung masyarakat,” tegas Prof. Diana Wijaya, dosen ITB yang mendampingi proyek ini.

Di sisi lain, Universitas Hasanuddin (Unhas) di Makassar menggandeng nelayan dan petani untuk mengintegrasikan kearifan lokal dalam mitigasi banjir. Mereka mengembangkan “kalender ekologis” yang memadukan prediksi cuaca modern dengan tanda alam tradisional, seperti pola migrasi ikan dan perubahan warna langit.

Tantangan dan Strategi Penguatan

Meski kemajuan signifikan terjadi, beberapa hambatan masih menghambat. Survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2023 mengungkap bahwa 45% desa rawan banjir kekurangan akses terhadap pendampingan teknis berkala. Selain itu, keterbatasan anggaran dan dinamika kepemimpinan lokal sering memperlambat implementasi program.

Untuk mengatasi ini, tiga strategi utama mulai berjalan:

  1. Pendampingan Berjenjang: Mahasiswa dan dosen dari 15 universitas membentuk tim respons cepat yang bergilir mendampingi desa-desa mitra.
  2. Penguatan Kelembagaan: Pelatihan manajemen bencana untuk perangkat desa dan karang taruna meningkatkan kapasitas organisasi lokal.
  3. Pendanaan Kreatif: Kemitraan dengan platform crowdfunding membantu masyarakat mengakses dana untuk pembuatan infrastruktur kecil seperti sumur resapan dan penahan erosi.

Menuju Ketahanan yang Mandiri

Kombinasi antara inovasi akademis dan aksi komunitas mulai menunjukkan hasil nyata. Di Kabupaten Garut, Jawa Barat, misalnya, warga yang telah mendapat pelatihan dari Universitas Padjadjaran (Unpad) kini mampu memproduksi ecobrick dari sampah plastik untuk membangun tanggul darurat. “Ini bukti bahwa masyarakat bisa menjadi aktor utama dalam mitigasi banjir,” papar Dr. Rudi Priyadi, peneliti Unpad.

Prof. Siti Aminah dari Universitas Indonesia (UI) menambahkan, “Sinergi antara kampus dan warga bukan hanya tentang transfer pengetahuan, tapi juga membangun kepercayaan diri komunitas untuk mengambil alih proses pengurangan risiko.”

Dengan pendekatan partisipatif dan berkelanjutan ini, harapan untuk memutus lingkaran banjir tahunan semakin nyata. Kunci keberhasilannya terletak pada konsistensi kolaborasi dan komitmen semua pihak untuk mengutamakan pencegahan daripada respons darurat.