penngbc – Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di tiga perusahaan besar—PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), PT Sanken Indonesia, dan PT Yamaha Music Manufacturing Asia—kian memicu kritik terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak matang. Sepanjang Januari-Mei 2024, ketiga perusahaan ini telah memberhentikan total lebih dari 2.500 karyawan, dengan alasan utama kenaikan biaya operasional akibat perubahan regulasi perpajakan dan impor bahan baku.


Akar Masalah: Lonjakan Biaya dan Regulasi yang Tidak Konsisten

Direktur Utama Sritex, Iswanda Agoes, menyebutkan kenaikan tarif pajak ekspor tekstil sebesar 15% (PP No. 8/2023) dan larangan impor kapas tertentu (Permendag No. 12/2024) sebagai pemicu utama. “Kami terpaksa efisiensi karena margin produksi turun 30%,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat dengan DPR.

Sementara itu, PT Sanken Indonesia, produsen elektronik asal Jepang, menghentikan 800 karyawan di pabrik Karawang akibat kenaikan Bea Masuk Ditambah (BMD) untuk komponen listrik sebesar 20%. “Kami kesulitan bersaing dengan produk China yang harganya lebih murah,” kata Manajer Hubungan Industrial Sanken, Taro Suzuki.

Di sisi lain, PT Yamaha Music Manufacturing Asia memberhentikan 500 pekerja di unit produksi gitar akustiknya di Surakarta. Kebijakan penghapusan insentif pajak untuk industri kreatif (PMK No. 25/2024) disebut membuat biaya produksi alat musik melonjak 25%.


Respons Pemerintah dan Kritik Pelaku Industri

Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, membantah tuduhan kebijakan serampangan. “Regulasi ini dirancang untuk mendorong kemandirian bahan baku dalam negeri,” tegasnya dalam konferensi pers di Jakarta (15/5). Namun, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menilai pemerintah gagal melakukan uji dampak sebelum menerapkan aturan baru. “Larangan impor kapas justru membuat industri tekstil kekurangan pasokan, karena kapas lokal hanya memenuhi 40% kebutuhan,” protes Ketua API, Jemmy Kartiwa.


guncang-tenaga-kerja-phk-massal-sritex-sanken-dan-yamaha-music-akibat-regulasi-pemerintah-yang-tak-teruji

Dampak Sosial-Ekonomi yang Meluas

PHK massal ini telah memicu gelombang pemutusan kontrak di industri pendukung, seperti jasa logistik dan UMKM pemasok komponen. Di Karawang, misalnya, 20 warung makan di sekitar pabrik Sanken terpaksa tutup karena kehilangan pelanggan. “Sebelum PHK, omzet saya Rp 2 juta per hari. Sekarang tidak sampai Rp 500 ribu,” keluh Siti, pemilik kedai nasi campur.

Buruh yang di-PHK juga menghadapi kesulitan mencari pekerjaan baru. “Saya sudah melamar ke 15 pabrik, tapi semua bilang sedang efisiensi,” ujar Ahmad (32), mantan operator mesin Sritex yang kini menjadi ojol.


Tuntutan Serikat Pekerja dan Jalan Tengah

Serikat Pekerja Nasional (SPN) mendesak pemerintah merevisi regulasi yang memberatkan industri dan memfasilitasi dialog tripartit (pemerintah, perusahaan, buruh). “PHK harus jadi opsi terakhir. Pemerintah perlu memberikan insentif darurat bagi perusahaan yang terdampak,” tegas Sekretaris Jenderal SPN, Ilhamsyah.

Sebagai solusi sementara, Kementerian Ketenagakerjaan mengklaim telah membuka program pelatihan kerja bagi korban PHK melalui Kartu Prakerja gelombang 54. Namun, mantan karyawan Yamaha Music mengkritik program ini: “Pelatihan digital marketing tidak relevan bagi pekerja pabrik yang keahliannya spesifik,” kata Dian, eks-teknisi produksi.


Peringatan untuk Pemerintah
Insiden PHK massal ini menjadi alarm bagi pemerintah untuk memperbaiki koordinasi antar-kementerian dalam menyusun regulasi. Tumpukan masalah ini juga berpotensi memicu gelombang protes buruh yang lebih besar menjelang akhir tahun.